Friday, August 22, 2008

Bulan Tiga Perempat

Terjatuh tubuh
tanpa keringat atau peluh
bulan tiga perempat tergantung
di langit malam itu

berkali sudah kaki berdarah
pada jalan panjang dan menikung
yang tak lagi terhitung

di tepi jalan bocah kecil menangis
berharap bulan berbelas kasih


Jogjakarta, 22 Agustus 2008

Saturday, March 15, 2008

Sepatu

Mesin sepeda motor tidak kumatikan saat aku kembali berhenti di sini. Di samping bak sampah, di depan sebuah toko sepatu. Untuk kesekian kalinya pula aku menatap ke dalam toko yang berdinding kaca tebal lagi bersih. Seekor lalat di bak sampah sama sekali tak beranjak. Kehadiranku barangkali sudah bisa ia tebak. Setidaknya, aku takkan mengambil sisa pizza yang masih setengah itu.

Ya. Aku memang hanya berhenti sejenak. Tanpa melepas helm dan tak perlu menggeser pantatku dari jok sepeda motor, aku amati sepatu berwarna coklat itu. Sepatu yang indah dengan hak tinggi siap menyangga tumit. "Aku pasti akan beli sepatu itu untukmu." Motorku pun kembali berjalan. Pelan seperti mengerti akan aku yang terbuai keinginan.

Lampu merah di sebelah Mirota Kampus menghentikan sepeda motorku. Senja tak lagi terlihat jingga karena hujan terus mengguyur kota sejak demonstrasi mahasiswa di perempatan kantor pos besar bubar pukul 12 tadi. Masih dua lampu merah lagi untuk sampai di rumah kontrakan.

*****

"Halo Mas... Ya sejauh ini masih. Syukurlah kalau benar demikian." Hatiku berbunga. Sepertinya tak mau aku tutup telpon itu. Aku masih ingin mendengarkan kata-kata yang melambungkan harapanku hingga langit ketujuh. Tapi, tombol "NO" sudah aku pencet, dan perbincangan pun berhenti.

Segera aku kirim pesan singkat tentang kabar gembira itu. Namun, tetap kurahasiakan misi "sepatu". Aku ingin dia terkejut dengan hadiahku. Hadiah pertama sejak aku mengenal dia 10 tahun lalu. Aku mau misi pertamaku ini sukses!

Malam menjadi demikian panjang karena mata ini sulit terpejam. Terbayang bagaiamana aku akan membuat dia terkejut. Apalagi jika dia tahu kalau nomor sepatu yang aku belikan pas. Aku telah mencatatnya sejak kabar perubahan itu tersiar.

*****

Aku berhenti lagi. Kali ini tidak di samping bak sampah. Aku masuk ke halaman dan mesin sepeda motor aku matikan. Penuh percaya diri, aku masuk ke toko itu. Toko dengan dinding dari kaca yang tebal lagi bersih. "Nomor 38 ada, Mbak?" Kuberanikan diri untuk bertanya. "Untuk siapa, Mas?" tanya pelayan toko seraya membuka kotak sepatu dengan nomor yang aku minta. "Tolong simpan Mbak. Kamis saya akan ke sini lagi." Si Mbak tidak menjawab. Aku pun langsung pergi. "Tiga hari lagi," gumamku dalam hati.

Jika boleh memilih, aku tidak mau ada kalender di dalam kamarku. Setidaknya untuk tiga hari ini. Angka-angka telah membuatku tersiksa dalam penantian hari bernama Kamis. Aku mendadak menjadi seperti seorang yang tengah menanti pacar yang berjanji pulang. Ah...! Aku benar-benar tak sabar.

*****

Tak kulihat jarum jam saat aku tergeragap bangun. Tak kuminum pula air putih dengan gelas besar seperti biasa aku lakukan setiap pagi. Aku langsung memacu sepda motorku. Menerobos lampu merah jalan lingkar kota. Terus ke selatan dan berhenti tepat di halaman gedung bercat kuning hijau.

Bergegas aku turun dari sepeda motor dan masuk ke bilik di mana mesin anjungan tunai mandiri berdiri mematung. Aku masukkan kartu yang telah retak di salah satu ujungnya. Cepat aku pencet angka-angka yang menjadi nomor sandiku. Tak sabar aku pencet menu Informasi Saldo. Beberapa detik aku terdiam menunggu tampilan pada layar. Mata aku pancangkan agar tak berkedip. Agar tidak ada angka yang terlewat. "Ah...!" Tak percaya, kutatap lagi angka-angka itu sampai mesin anjungan bersuara. Aku tarik kartuku dan secepatnya ingin pergi. Namun, keraguan memaksa aku untuk mencobanya lagi. "Tidak. Tidak mungkin salah," nalarku membantah.

Aku keluar dari bilik. Sepeda motor aku pacu meninggalkan jalan Sudirman. Dua ratus meter berjalan, motorku terhenti. Tepat di samping bak sampah di depan toko sepatu. Kulihat dari balik dinding kaca pelayan toko tersenyum. Mungkin dia beripikir aku menepati janji. "Tidak, Mbak. Aku tidak menepati janji, karena uangku tidak mungkin cukup."

*****

Jogjakarta, Maret 2008



Sunday, January 20, 2008

Cak Mul

"Monggo..." Suaranya ramah menyambut kedatangan kami. "Nuwun sewu. Nggih ngaten meniko panggenan kulo," seolah membaca pikiran Emak, Cak Mul menjelaskan rumahnya. Rumah yang kecil. Teramat kecil bagi empat orang yang tinggal di dalamnya.

Jangan tanya di mana ruang tamu dan di sebelah mana dapurnya. Karena, begitu masuk dan duduk, Anda akan dapat melihat istri Cak Mul memasak. Jangan pula tanya sofa atau perabot rumah tangga lainnya. Satu-satunya perabot adalah lemari kayu usang tempat menyimpan teve 14 inchi dan bakul nasi. "Monggo lenggah, Bu..." Cak Mul mempersilakan Emak untuk Duduk.

Memandang sekeliling Emak menyandarkan tubuhnya di dekat pintu. Belum ada kata yang terucap dari bibirnya. Matanya yang coklat menyapu seluruh dinding triplek. Sebuah topi menghentikan pengamatannya.

"Kamu sering ke sini, Mas?" pelan, Emak bertanya. Aku hanya mengangguk. Membiarkan pikirannya mengembara. Mengkonstruksi setiap kata tentang Cak Mul. Lelaki paruh baya yang aku kenal sejak 10 tahun lalu. Aku biarkan Emak menatap kasur kusam yang bersandar pada dinding. Aku biarkan dia menyelami setiap sudut rumah dari orang yang sering aku ceritakan karena jasanya semasa kuliah.

Cak Mul. Hanya itulah nama yang aku kenal sejak 10 tahun lalu. Aku tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu nama lengkapnya. Juga nama istrinya yang aku panggil Mak. Yang aku hafal hanyalah nama kedua anaknya. Tabah Muhardhika dan Wedha Kumala. Nama yang menurut Cak Mul diambil dari pekerjaannya sebagai penjual "wedhangan malam" nama keren dari penjual "sego kucing".

Wedha kini duduk di bangku kelas dua STM. Kebangkrutan Cak Mul sebagai penjual "sego kucing" nyaris membuat Wedha tak bersekolah. Kampus Mesen yang berubah fungsi dari sekretariat UKM menjadi kampus D-3 Ekonomi rupanya berdampak signifikan bagi Cak Mul. Tidak ada anak nongkrong. Kuliah selesai jam tiga sore tepat dengan waktu Cak Mul bersiap membuka gerobaknya. Beberapa kali Cak Mul berganti usaha untuk menghadapi pasar yang berbeda. Namun, sampai modal habis pelanggan tidak ada. Cak Mul bangkrut.

"Dahar rumiyin, Bu..." Emak ragu untuk menjawab. Aku berhenti mengingat masa lalu. Segera aku mengambil nasi dan sayur gori. Aku memang sudah terbiasa di rumah ini. Dahulu, hampir setiap Sabtu dan Minggu pasti ke rumah ini. Dan, di dekat pintu tempat Emak duduk itulah favoritku. Aku bisa memandang siapa pun yang berjalan. Melihat anak kecil yang berlari. Juga melihat anjing hitam yang tidur bermalas-malasan. Di dekat pintu di samping lemari kayu ini pula aku sering menghabiskan waktu dengan buku. Dan, di kemudian hari aku baru mengetahui jika rumah inilah buku yang sebenarnya.

Cak Mul adalah buku pelajaran tentang seorang bapak yang tak pernah putus asa dan percaya akan pentingnya menyekolahkan anak. Dengan segala keterbatasannya akan teori, Cak Mul bagiku adalah aktor tulus yang menerima keberagaman. Forum komunikasi antar umat beragaman boleh-boleh saja getol mengampanyekan toleransi. Tapi, di rumahnya yang berdinding triplek, Cak Mul telah melaksanakannya. Tabah--anak pertamanya adalah penganut nasrani. Dan, Wedha anak keduanya seorang muslim.

Istri Cak Mul adalah buku besar dengan beberapa bab di dalamnya. Bab Pertama dan paling penting adalah tentang bagaimana menjadi ibu dan istri yang baik. Sedang Tabah dan Wedha adalah buku anak-anak yang riang dan bebas kelas. Dan rumah berdinding triplek ini juga buku yang sempurna. Yang tak perlu ayat-ayat suci dan perabot tolak bala tapi mampu membentengi penghuninya dari segala pengaruh buruk.

Samping kanan rumahnya tinggal seorang pengedar narkoba. Di samping kirinya seorang penadah barang-barang copetan. Letaknya yang di pojok seringkali dijadikan tempat menyelinap pengamen yang dikejar-kejar aparat. gang sempit di depan rumahnya adalah jalur bebas hambatan minuman keras. Segala yang melawan hukum dan menentang agama bersinggungan di kampung ini. Dan, Cak Mul hanya menyekatnya dengan triplek.

Namun, persinggungan tak berlaku untuk satu hal: Pendidikan. Tembok tinggi di belakang rumah Cak Mul tak mampu dilompati. Bukan saja oleh anak-anaknya. Tapi, hampir semua anak di kampung Purwopuran. Tembok tinggi bukan saja menjadi pemisah antara rumah dan kampus UNS Mesen, tapi pembatas siapa yang berhak kuliah dan putus sekolah.

"Matur nuwun..." Emak beranjak meminta diri. Dengan malas aku menyalami Cak Mul yang selalu tersenyum. Aku masih ingin di sini. Duduk di dekat pintu di samping lemari kayu seperti sepuluh tahun lalu.

Jogjakarta, 21 Januri 2008

Wednesday, November 21, 2007

Wajah di Balik Bantal

Segera saja kurengkuh bantal itu untuk menutupi wajahku. Aku tak mau ia melihatnya. Melihat wajahku yang memerah. "Kenalkan..." Aku tak mau mendengarnya. Suara lembut itu justru membuat tanganku bergerak cepat. Menarik bantal dan menutupkannya ke wajah hingga telingaku.

Sungguh aku harus berterima kasih kepada sepotong bantal di sofa ini. Juga kepada tanganku yang bergerak cepat seolah memahami perasaanku. Ah! Kenapa juga dengan perasaanku?

Aku masih tak bergerak. Di ujung sofa di sudut ruang tamu. Aku benar-benar seperti pesakitan. Oh... Sungguh aku ingin melihatnya. Memandang wajah yang mengalunkan suara merdu. Namun, keberanian yang selalu aku agungkan mendadak hilang. Tubuh besarku meriut seperti tikus masuk got.

Perlahan, dengan sisa keberanian aku turunkan bantal. "Oh Tuhan... dia belum pergi," dalam hatiku mengalun kata syukur. Tapi, keberanianku belum kembali. Sepotong bantal kembali menjadi perlindungan. "Tuhan...tolong aku. Tuntunlah bibirku berucap yang terindah untuk menjawab pertanyaannya".

Sepuluh detik berlalu. Keberanianku belum kembali. Semenit berlalu, keberanianku belum juga pulang kandang.

"Mas, aku pulang dulu ya..." Suara merdu itu berpamitan. "Tidak!" seru hatiku. Namun, suara hatiku rupanya tak didengar. Gadis bersuara merdu itu pergi. Meninggalkan aku sendiri dengan sepotong bantal di ujung sofa di sudut ruang tamu.

Seminggu berlalu, aku terus berusaha mengumpulkan keberanian. Namun, tak cukup. Sebulan aku berusaha menyusun kata-kata tapi sia-sia. "Mas.." Oh Tuhan... suara merdu itu. Suara yang meruntuhkan seluruh keberanianku.

Bantal. Di mana bantal itu? Aku ingin sekali menutup wajahku. Aku ingin sekali menutupi ketakutanku. "Suka film ya Mas.." aku tergagap. Spontan bibirku berucap "Ya". Dan, tak ada lagi perbincangan. Waktu seperti terhenti sampai tangan kami saling melambai tanda perpisahan. Malam benar-benar menjadi jahanam.

***

Aku tidak tahu lagi bagaimana mulanya. Mendadak kami sudah satu meja dan menikmati makan siang. Tak banyak kata terucap. Kami hanya saling memuji menu yang kami pesan. Namun dari sinilah semuanya berawal. Kami saring bertemu dan melewatkan waktu bersama hingga akhirnya kami menetapkan tanggal 10 Juli sebagai hari baik bagi kami untuk mengikat diri.

Jogjakarta, 22 November 2007

Monday, September 24, 2007

Telpon

Tak seperti biasanya, suaramu terdengar lirih. Tidak ada sapa yang manja seperti yang biasa kau ucapkan sebelum memulai pembicaraan. "Kamu sakit, Ta?" Aku mencoba menyelidik. Tarikan nafasmu memberiku jawab. "Sudah ke dokter?" Aku mencoba memastikan. "Aku tak berani sendirian. Aku ingin bersamamu."

"Aku gak ke mana-mana, Ta. Aku bersamamu," sekuat tenaga aku berusaha menenangkan. Aku sangat paham. Situasi sulit pasti tengah membelitnya. Ia bukan penakut. Tidak pernah ia meriut seperti ini. Menjadi seperti anak kecil yang tak berani masuk kelas pada hari pertama sekolah.

Dibandingkan dengan diriku, air matanya jauh lebih susah untuk jatuh. Ia cukup tegar saat berhadapan dengan situasi apa pun. Karena itu, mendengarnya terisak, aku benar-benar miris. "Semua akan baik-baik saja," aku terus saja berusaha menenangkan. Tak ada jawaban selain isak yang semakin keras terdengar.

Sungguh, ini kali pertama menghadapi dia dalam situasi seperti ini. Biasanya, jika sedang bersedih cukuplah ia rebahkan kepalanya di dadaku. Tak perlu kata-kata. Karena beberapa saat dia akan kembali tersenyum. Tapi, kali ini jarak dan waktu menjadi garis demarkasi. Mengusap air matanya pun aku tak bisa.

"Ta...," suara di ujung telepon semakin lirih terdengar. "Jika ada waktu untuk pulang, antarkan aku ke dokter." Pasti. Aku pasti akan mengantarnya ke dokter seperti yang aku lakukan ketika dia terkena flu atau radang tenggorokan.

"Kemungkinan aku terkena kanker leher rahim. Tadi aku habis chek up dan dokter Lab curiga..." Panjang lebar ia ceritakan diagnosa dokter atas hasil laboratorium. Dan aku? Aku hanya diam. Aku tak bisa berkata-kata lagi sampai tak kudengar lagi suaranya di telponku.

Jogjakarta, 24 september 2007

Tuesday, September 18, 2007

Maut

"Sak suwene aku nglawak, lagi iki aku nglawak neng nggone wong kesripahan," Marwoto Kawer berujar kepada para takziyah sebelum memulai aksinya di depan jenazah seorang perempuan. Hari itu, pelawak sekaligus pemain kethoprak asli Jogja ini mendapat "job" khusus untuk melawak menghibur perempuan yang baru saja meninggal. Dan, Marwoto tak bisa menolak. Sindhunata ingin agar almarhumah Ibunya tertawa sebelum meninggalkan keluarga, tetangga dan sahabat-sahabatnya ke alam barzah.

Pemimpin tertinggi "Panguntji" ini juga meminta Jemek berpantomim di depan almarhumah. Para pelukis juga dihelat secara khusus untuk merupa kematian Ibundanya tercinta.

Mengapa harus lawak? Mengapa juga harus ada pantomim dan gerak kuas pelukis di atas kanvas kalau toh air mata tetap keluar dari sudut mata Sindhunata? Apakah Marwoto yang sedemkian jago mengocok perut tak bisa lagi melawak? Apakah jemek sudah kehabisan gerak? Apakah pula tangan para pelukis itu sudah lumpuh sehingga goresan kuasnya tak lagi menarik? Bukan itu yang menjadi keinginan Sindhunata.

Kematian Suningsih, ibundanya tercinta tetap menorehkan duka. Tapi, Sindhunata ingin Ibundanya pergi dengan tertawa. Karena menurutnya, "kematian bukanlah akhir segalanya. Tapi, ia adalah awal dari kebahagiaan yang abadi."

Kematian pada akhirnya adalah jalan menuju kehidupan lain. Sekaligus juga ia menjadi jalan untuk menutup kehidupan sebelumnya. Ia berlaku kepada siapa saja yang bernyawa. Lalu mengapa kita harus menjauh dari sesuatu yang pasti terjadi? Akrabilah kematian agar ia menjadi indah.

Sunday, June 17, 2007

Jantung Hati Tunisia


(Bagian ke-3 dari Tulisan Tunisia)



Hoooaahgh! Mata seperti malas membuka saat wake up call berdering. Dengan rasa malas yang tersisa, segera aku ke kamar mandi. membersihkan badan dan bersiap ke restoran untuk sarapan. "Semoga ada nasi," harapku saat di dalam lift. Maklum, terbiasa makan nasi, rasanya belum afdol kalau sarapannya sekedar roti atau yang lain.

Tiba di meja makan, beberapa teman rombongan sudah asyik menikmati santapannya. Aku pun segera bergabung setelah mengambil sepiring nasigoreng India dengan lauk daging unta. "Nambah yuk!" seorang teman mengajak. "Aku ambil buah saja".

Tak lama teman itu kembali dengan membawa sepiring nasi. "Di Indonesia memang ada. Tapi, kita perlu nyobain ini,". Dua menit.. tiga menit... Tak juga bisa dikunyah lauk yang di Indonesia juga ada. "Eh, kamu makan apaan sih?" tanya teman lain." Belum sempat menjawab, Amel yang menjadi guide perjalanan kami berdiri dan langsung mengajak kami berangkat. "Sebentar. masih ada yang belum habis makannya," sergah peserta yang lain. Amel pun mengalah dan kembali duduk.

"Loe makan apa sih? Kok kelihatannya alot banget," tanya teman lainnya. "Nggak tahu nih masaknya gimana. Kalau di tempat kita khan nggak alot begini," jawab teman itu sambil terus mencoba menggigit lauk ala Tunisia.

"Ya ampun... ini khan hiasan. Ini bukan lauk! Ini karet!" Teriak teman satu lagi yang menghampiri. "Pantesan alot. Gua kira jantung." Jawab teman itu sambari mengelap mulutnya. Ya. teman itu mengira, hiasan dari karet itu jantung pisang yang di Indonesia biasa diolah menjadi sayur. Jantung? Jantung hati Tunisia kaleee...!