Saturday, November 18, 2006

Untuk Kota yang Akan Kutinggalkan

Datang ke Kota Bengawan, aku tak sepenuhnya ikhlas. Ada yang sedikit mengganjal saat kantor dengan segala otoritasnya menurunkan Surat Keputusan: Memindahkan lokasi kerjaku yang semula di Jogja ke Solo. Tapi, seperti Momok Hiyong, kantor tak bisa dilawan. SK harus dilaksanakan. Dan, aku pun angkat koper. Pindah ke kota "Dua Raja".

Sampai di gerbang kota, alam pikir ini masih saja di Jogja. Lambaian tangan kawan, seolah memanggilku pulang. Tapi, kedua kaki terlanjur menginjak bumi. "Ah... Nanti kamu akan terbiasa juga." kata seorang kawan.

Benar juga. Satu dua bulan berjalan, aku mulai merasakan "ghirrah". Apalagi, setelah kawan-kawan lama semasa kuliah dan aktif di jalanan bisa kutemukan. Rutinitas mulai membuatku asyik. Kawan-kawan seprofesi pun cukup membuatku betah untuk nongkrong dan ngopi saat beristirah.

Namun, itu tak berlaku lama. Aku kembali merasa "jumud". Bosan dengan orang-orang selingkungku sendiri. Malah, lebih dari itu, aku mulai membenci orang-orang selingkungku. Kawan-kawan seprofesi, nyaris tak ada lagi yang bisa membuatku menaruh hormat. Apalagi, kepada kawan yang lebih senang menikmati hasil kerja orang lain dan mengeksploitasinya. Fyuhh!!!

Aku teringat Jogjakarta. Kota yang membuat adrenalinku terkuras habis. Kota di mana tidak ada kata ampun untuk siapa pun yang terjun ke dunia jurnalisme. Kota yang pernah membuatku memilih untuk terjatuh dan mati di jalan daripada tidak bisa mendapatkan gambar pesawat latih TNI AU yang jatuh di Prambanan.

Pada titik ini, nyaris tak ada yang bisa aku lakukan. Kebanggaan karena banyak kawan yang menggunakan tripod karena ajakanku seperti hilang. Padahal, tripod dulu hanya aku jadikan alat pemantik agar kawan-kawan tak sekedar memaknai profesinya sebagaimana buruh lain. Ada tugas "suci" yang sampai sekarang masih aku yakini, setidaknya mencerdaskan publik, ya memberikan informasi yang benar kepada khalayak. Bukan sebaliknya. Me-reka peristiwa dan menjadikan kebutuhan masyarakat akan informasi sebagai ladang empuk untuk dieksploitasi.

Tapi, apa lacur. Semua yang berjalan tak seluruhnya seperti yang diimpikan. Hanya saja, kegamangan ini tidak cukup terobati. Apalagi, jika melihat kawan-kawan yang mendadak menjadi "jurnalis" dan menganggap enteng profesinya. Lebih sakit lagi, melihat kawan yang menangguk untung dari kawan lain yang tidak tahu makna sejati profesinya.

Beruntung, genap dua tahun, kantor berniat mengembalikanku ke habitat lama. Kota Jogjakarta. Kota, di mana aku belajar jurnalisme televisi dengan segala pernak-perniknya. Dan, berarti pula aku akna meninggalkan kota ini. Kota yang banyak dihuni para jurnalis televisi yang sakit.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home