Friday, June 24, 2005

Matahari yang Marah

Matahari seperti ingin menunjukkan kegarangannya. Tak satu segumpal pun awan diberi kesempatan untuk menutupi. Langit dibuat biru. Tanah dibuat terbelalak. Dan kepala dipaksa meraung menahan panas.

Kemarahan matahari baru mereda setelah lonceng senja dipukul malaikat. Toh sisa-sisa kemarahannya masih terbawa angin malam yang berhembus pelan. Dingin dan menusuk tulang. Seluruh kota benar-benar dibuat merinding.

Apa salah bumi? Apa dosa kota yang kutinggali?

Apakah karena pesta yang digelar untuk pertama kali ini "salah mangsa"? Bukankah ini rekadaya manusia yang paling demokratis untuk memilih pimpinan? Memilih langsung Sang Duta untuk memimpin kota dan memakmurkan seluruh rakyatnya?

"Barangkali telinga Matahari tidak kuat dengan suara knalpot," Mas Alfian berujar. Knalpot. Ya, dua minggu ini seluruh pasang telinga hanya bisa mendengar suara knalpot. Knalpot yang meraung seperti macan yang tertembak pemburu.

Tapi, hanya karena itukah? Bukankah yang mereka lakukan sekedar menuruti "hukum wajib" pesta demokrasi? Pesta yang sejak kita SD selalu diikuti arak-arakan kendaraan yang meraung? Yang karena raungannya itu pula suara-suara para calon Duta tak bisa didengar? Karena, meskipun beribu orang berkumpul, mata mereka lebih menyimak lekatnya celana dalam penyanyi dangdut yang bergoyang di atas panggung?

Ooo... Apa yang aslah matahariku?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home