Tuesday, September 18, 2007

Maut

"Sak suwene aku nglawak, lagi iki aku nglawak neng nggone wong kesripahan," Marwoto Kawer berujar kepada para takziyah sebelum memulai aksinya di depan jenazah seorang perempuan. Hari itu, pelawak sekaligus pemain kethoprak asli Jogja ini mendapat "job" khusus untuk melawak menghibur perempuan yang baru saja meninggal. Dan, Marwoto tak bisa menolak. Sindhunata ingin agar almarhumah Ibunya tertawa sebelum meninggalkan keluarga, tetangga dan sahabat-sahabatnya ke alam barzah.

Pemimpin tertinggi "Panguntji" ini juga meminta Jemek berpantomim di depan almarhumah. Para pelukis juga dihelat secara khusus untuk merupa kematian Ibundanya tercinta.

Mengapa harus lawak? Mengapa juga harus ada pantomim dan gerak kuas pelukis di atas kanvas kalau toh air mata tetap keluar dari sudut mata Sindhunata? Apakah Marwoto yang sedemkian jago mengocok perut tak bisa lagi melawak? Apakah jemek sudah kehabisan gerak? Apakah pula tangan para pelukis itu sudah lumpuh sehingga goresan kuasnya tak lagi menarik? Bukan itu yang menjadi keinginan Sindhunata.

Kematian Suningsih, ibundanya tercinta tetap menorehkan duka. Tapi, Sindhunata ingin Ibundanya pergi dengan tertawa. Karena menurutnya, "kematian bukanlah akhir segalanya. Tapi, ia adalah awal dari kebahagiaan yang abadi."

Kematian pada akhirnya adalah jalan menuju kehidupan lain. Sekaligus juga ia menjadi jalan untuk menutup kehidupan sebelumnya. Ia berlaku kepada siapa saja yang bernyawa. Lalu mengapa kita harus menjauh dari sesuatu yang pasti terjadi? Akrabilah kematian agar ia menjadi indah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home