Monday, July 31, 2006

Ponirah

Entah mengapa tiba-tiba saja aku mengingatnya. Seorang perempuan perkasa dari Bantul, Jogjakarta. Ponirah sang kepala rumah tangga. Ponirah yang menghidupi anak-anaknya dari keringat dan air mata.

Tentu Ponirah tidak kenal Kartini. Ponirah juga tak mengerti apa itu gender. Tapi, apa yang ia lakukan telah melampaui batas-batas itu. Ponirah malah berada di pucnak pencapaian. Becak bantuan dari kampus UGM adalah saksinya. Kerikil di sepanjang jalan Bugisan-Jokteng Kulon Kraton Jogjakarta pun akan mengamini.

Ponirah tak pernah mengeluh dengan nasib yang ia lakoni. setiap tetes keringat ia usap dg handuk kikhlasan. Dan setiap receh yang ia kantongi selalu ia syukuri dengan, "Matur nuwun."

Ponirah bukan muslim yang taat. Saat suaminya sakit, Ponirah membawanya berobat ke RS Sarjito. Ponirah tak percaya dukun. Saat suaminya meninggal, Ponirah juga menangis seeprti umumnya seorang perempuan. Namun, air mata adalah kesabaran.

Tapi, bagaimana Ponirah sekarang?