Saturday, March 15, 2008

Sepatu

Mesin sepeda motor tidak kumatikan saat aku kembali berhenti di sini. Di samping bak sampah, di depan sebuah toko sepatu. Untuk kesekian kalinya pula aku menatap ke dalam toko yang berdinding kaca tebal lagi bersih. Seekor lalat di bak sampah sama sekali tak beranjak. Kehadiranku barangkali sudah bisa ia tebak. Setidaknya, aku takkan mengambil sisa pizza yang masih setengah itu.

Ya. Aku memang hanya berhenti sejenak. Tanpa melepas helm dan tak perlu menggeser pantatku dari jok sepeda motor, aku amati sepatu berwarna coklat itu. Sepatu yang indah dengan hak tinggi siap menyangga tumit. "Aku pasti akan beli sepatu itu untukmu." Motorku pun kembali berjalan. Pelan seperti mengerti akan aku yang terbuai keinginan.

Lampu merah di sebelah Mirota Kampus menghentikan sepeda motorku. Senja tak lagi terlihat jingga karena hujan terus mengguyur kota sejak demonstrasi mahasiswa di perempatan kantor pos besar bubar pukul 12 tadi. Masih dua lampu merah lagi untuk sampai di rumah kontrakan.

*****

"Halo Mas... Ya sejauh ini masih. Syukurlah kalau benar demikian." Hatiku berbunga. Sepertinya tak mau aku tutup telpon itu. Aku masih ingin mendengarkan kata-kata yang melambungkan harapanku hingga langit ketujuh. Tapi, tombol "NO" sudah aku pencet, dan perbincangan pun berhenti.

Segera aku kirim pesan singkat tentang kabar gembira itu. Namun, tetap kurahasiakan misi "sepatu". Aku ingin dia terkejut dengan hadiahku. Hadiah pertama sejak aku mengenal dia 10 tahun lalu. Aku mau misi pertamaku ini sukses!

Malam menjadi demikian panjang karena mata ini sulit terpejam. Terbayang bagaiamana aku akan membuat dia terkejut. Apalagi jika dia tahu kalau nomor sepatu yang aku belikan pas. Aku telah mencatatnya sejak kabar perubahan itu tersiar.

*****

Aku berhenti lagi. Kali ini tidak di samping bak sampah. Aku masuk ke halaman dan mesin sepeda motor aku matikan. Penuh percaya diri, aku masuk ke toko itu. Toko dengan dinding dari kaca yang tebal lagi bersih. "Nomor 38 ada, Mbak?" Kuberanikan diri untuk bertanya. "Untuk siapa, Mas?" tanya pelayan toko seraya membuka kotak sepatu dengan nomor yang aku minta. "Tolong simpan Mbak. Kamis saya akan ke sini lagi." Si Mbak tidak menjawab. Aku pun langsung pergi. "Tiga hari lagi," gumamku dalam hati.

Jika boleh memilih, aku tidak mau ada kalender di dalam kamarku. Setidaknya untuk tiga hari ini. Angka-angka telah membuatku tersiksa dalam penantian hari bernama Kamis. Aku mendadak menjadi seperti seorang yang tengah menanti pacar yang berjanji pulang. Ah...! Aku benar-benar tak sabar.

*****

Tak kulihat jarum jam saat aku tergeragap bangun. Tak kuminum pula air putih dengan gelas besar seperti biasa aku lakukan setiap pagi. Aku langsung memacu sepda motorku. Menerobos lampu merah jalan lingkar kota. Terus ke selatan dan berhenti tepat di halaman gedung bercat kuning hijau.

Bergegas aku turun dari sepeda motor dan masuk ke bilik di mana mesin anjungan tunai mandiri berdiri mematung. Aku masukkan kartu yang telah retak di salah satu ujungnya. Cepat aku pencet angka-angka yang menjadi nomor sandiku. Tak sabar aku pencet menu Informasi Saldo. Beberapa detik aku terdiam menunggu tampilan pada layar. Mata aku pancangkan agar tak berkedip. Agar tidak ada angka yang terlewat. "Ah...!" Tak percaya, kutatap lagi angka-angka itu sampai mesin anjungan bersuara. Aku tarik kartuku dan secepatnya ingin pergi. Namun, keraguan memaksa aku untuk mencobanya lagi. "Tidak. Tidak mungkin salah," nalarku membantah.

Aku keluar dari bilik. Sepeda motor aku pacu meninggalkan jalan Sudirman. Dua ratus meter berjalan, motorku terhenti. Tepat di samping bak sampah di depan toko sepatu. Kulihat dari balik dinding kaca pelayan toko tersenyum. Mungkin dia beripikir aku menepati janji. "Tidak, Mbak. Aku tidak menepati janji, karena uangku tidak mungkin cukup."

*****

Jogjakarta, Maret 2008