Wednesday, June 29, 2005

Menunggumu

menunggumu di sudut ruang
di setiap sore
saat matahari perlahan turun menapaki bukit
tak ada yang membosankan

ada secangkir kopi
ada sayup musik
ada ceklak-ceklik mouse
waktu seperti berlalu begitu saja

ah..sbentar lagi kau datang...

Tuesday, June 28, 2005

Secangkir Kopi

secangkir kopi aku reguk sore ini
tidak manis, tidak pula pahit.
sedang rasanya..

bersanding dengan handphone
secangkir kopi cukuplah menemani

masih ada sedikit sisa
saat keteguk keempat kalinya

Jarum Jam Pasti Tahu

ada yang berubah pada dirimu
entah di mana...
tapi aku jelas merasakannya
juga teman yang lain...

jarum jam pasti tahu
layar handphone juga takkan menipu
kau telah berubah...

lalu waktu memang membawa segala
termasuk perubahan
atau perubahan itulah lalu waktu
yang membawamu ke tepi yang jauh?

dan kemarahanku bukanlah pada perubahan
tapi pada dirimu yang tak sadar pada perubahan

Friday, June 24, 2005

Jika

Jika mencintaiku adalah kesetiaan,
maka kau telah melakukannya, kekasih...

Jika Mencintaiku aalah kesabaran,
Kau tak pernah kehabisan

Bagaimana aku harus mencintaimu?

Matahari yang Marah

Matahari seperti ingin menunjukkan kegarangannya. Tak satu segumpal pun awan diberi kesempatan untuk menutupi. Langit dibuat biru. Tanah dibuat terbelalak. Dan kepala dipaksa meraung menahan panas.

Kemarahan matahari baru mereda setelah lonceng senja dipukul malaikat. Toh sisa-sisa kemarahannya masih terbawa angin malam yang berhembus pelan. Dingin dan menusuk tulang. Seluruh kota benar-benar dibuat merinding.

Apa salah bumi? Apa dosa kota yang kutinggali?

Apakah karena pesta yang digelar untuk pertama kali ini "salah mangsa"? Bukankah ini rekadaya manusia yang paling demokratis untuk memilih pimpinan? Memilih langsung Sang Duta untuk memimpin kota dan memakmurkan seluruh rakyatnya?

"Barangkali telinga Matahari tidak kuat dengan suara knalpot," Mas Alfian berujar. Knalpot. Ya, dua minggu ini seluruh pasang telinga hanya bisa mendengar suara knalpot. Knalpot yang meraung seperti macan yang tertembak pemburu.

Tapi, hanya karena itukah? Bukankah yang mereka lakukan sekedar menuruti "hukum wajib" pesta demokrasi? Pesta yang sejak kita SD selalu diikuti arak-arakan kendaraan yang meraung? Yang karena raungannya itu pula suara-suara para calon Duta tak bisa didengar? Karena, meskipun beribu orang berkumpul, mata mereka lebih menyimak lekatnya celana dalam penyanyi dangdut yang bergoyang di atas panggung?

Ooo... Apa yang aslah matahariku?

Sunday, June 19, 2005

jangan menangis

tidak!
aku tidak ingin kau menangis
apalagi bersimpuh sambil menutupi wajahmu

sungguh bukan aku menakutimu
karena telingamu ta pantas mendengar
kata-kata keras yang deras dari mulutku

aku hanya capek

Marah

aku marah sekali sore ini
seperti toko di akhir bulan
semua smua serapah aku obral
aku capai
aku lelah
aku ingin istirah

Thursday, June 09, 2005

Waktu yang Menggiring

apa kau masih ingat kekasih?
tentang sebuah tanya yang keluar dari balik selimut?

apakah kau tidak lupa dengan jawabmu kekasih?
dari bibir yang masih basah oleh liurku?

apakah kau tidak merasakannya kekasih?
waktu telah menggiring kita ke tepi jurang

aku benar-benar takut
khawatir tak bisa memberimu aba-aba
karena waktu yang tanpa jeda



Thursday, June 02, 2005

tirus

Aku belum pernah bersitatap dengannya. Apalagi berbincang dalam satu kesempatan. belum pernah. Tapi aku selalu ingat wajahnya. Wajah tirus seorang lelaki yang menatap samar. Tidak tajam, tidak pula kosong. Bergelegak tapi tak tampak.

1996, aku sudah mendengar namanya. Dari seorang teman yang juga tidak dekat dengannya. Aku tidak ingin bertemu. Apalagi berbincang untuk waktu yang panjang. Sama sekali tak terpikirkan.

1997 aku mulai menyanyikan bait-bait puisinya yang telah digubah. Si Tirus konon menciptakannya hanya sebagai gerundelan. Celotehan orang kecil yang terhimpit kebutuhan hidup. Namun, negeri ini anti orang kecil. Gerundelan dianggap protes, dan si Tirus mulai diwaspadai.

Tirus, demikian aku lebih suka menyebutnya, bukan tidak sadar. Seperti bunga, ia tahu kalau dirinya salah tumbuh karena akarnya melekat di tembok yang bercat putih. Tirus bukan hanya diwaspadai.. Ia kemudian dicari hingga akhirnya sang istri tidak bisa berkontak lagi.

Ke mana si Tirus? Istri tak mengerti. Kawan tak pula mengetahui. Ditelan bumi?

Tidak! Tirus tidak suka pada alam untuk berserah. Meski sudah enam tahun menghilang? Ya. Aku tetap tak percaya! Setiap kali puisinya dinyanyikan, aku melihat wajahnya. Wajah yang tirus dengan gelegak yang samar dan hampir tak terlihat.

Aku masih ingat! Ketika pada 1998 aku harus bersembunyi di kolong, dia tidur di sebelahku. Aku juga masih melihat wajahnya pada 1999 lalu. Tersenyum, saat aku bersama-sama para petani belajar menyanyikan puisi-puisinya di sawah dan di jalanan. Namun, setelah itu...tak pernah lagi kulihat wajah tirusnya.

Tiga tahun berlalu. Aku hampir lupa jika mata ini tak melihat seorang muda yang mencoba memotretku dengan handphone di tengah para pengamen dan anak-anak jalanan. Namun, tidak ada senyum seperti lima tahun lalu.

Tirus, wajahnya semakin tirus. Tulang di pipinya semakin menonjol. Matanya sayu. Selintas saja kulihat wajahnya karena sekedip kemudian dia menoleh dan hilang.

Pertemuan yang hanya sekedip itu. Tulang pipi yang menonjol, dan mata yang sayu seperti menjadi pertanda. Tirus tak akan kujumpai lagi meski puisinya dinyanyikan beratus kali. Oleh beratus muda yang tangannya senantiasa mengepal di jalanan.

***

keringat itu

melihat bilah bambu teranyam rapi
melihat caping di kepala Pak Tani
adakah yang lebih melindungi?

lihat kaki kekar tak bersandal itu
yang siap menginjak tanah maupun batu
adakah yang lebih jujur?

dan lihat cangkul itu
yang tinggi terayun dan dalam menghujam tanah
adakah yang lebih seimbang?

dan hiruplah bau itu
bau keringat yang mengalir tidak hanya dari ketiak
tapi juga dari wajah, tangan, dan seluruh pori-pori
adakah yang lebih sungguh-sungguh?

yasser

mata bocah itu menerawang
dua jari tangan kanannya membentuk huruf V
tangan kirinya menggenggam selembar foto
foto yang kusam

ada dirinya dan seorang tua
si bocah diam, si orang tua tersenyum
senyum yang hanya ada di foto
karena si orang tua telah pergi
pulangmeninggalkan bangsa
meninggalkan cita-cita

kepala ayam jago

Sayup suara takbir masih terdengar saat kaki ini menginjak teras rumah. Rumah yang 2,5 tahun aku tinggalkan. Aku lupakan seisinya.

Emak menyambutku sebelum aku sempat mengetuk pintu. Langsung memeluk tanpa sempat berucap. Ada dua titik air di sudut mata kanannya. "Kamu pulang juga, Mas?" pelan tanpa melepas tangannya dari punggungku.

"Mas", emak selalu memanggilku dengan kata itu. Mungkin untuk mengajari adik-adikku saat mereka masih kecil. Namun, entah mengapa saat ketiga adikku sudah besar, dan semua memanggilku dengan kata "Mas", emak masih menggunakan kata itu sebelum menyebut namaku.

"Emak tidak bisa tidur semalaman," masih belum melepas tangannya dari punggungku. Matanya memang sedikit merah. Tapi, semalam adikku berkata di telpon, emak sudah tidak bisa tidur sejak malam takbiran. Malah, kata adikku, emak juga tidak mau dhahar. "Kangen," kata adikku.

"Aku hanya ingin kamu pulang. Bukan bersujud. Hari ini semua salah telah hilang. Bangun dan makanlah," tangan emak membimbingku bangkit. "Kemarin bapak memotong ayam jago. Adik-adikmu tidak mau makan kepalanya".

Kepala ayam. Ah! aku jadi ingat masa kecilku. Aku ingat bagaimana aku menangis karena kepala ayam jago yang dipotong Almarhum Mbah Kakung dimakan adikku. "Kamu masih suka kepala ayam, khan?" Emak membuyarkan lamunanku. "Masih," jawabku.

Kepala ayam. ya aku suka sekali kepala ayam jago. dan sejak aku menangis gara-gara kepala ayam jago yang dipotong Mbah Kakung dimakan adikku, Emak selalu menyimpannya di tempat terpisah. Entah di mangkuk, atau di piring. "Kepala ayam, hanya untuk Masmu". Kalimat itu selalu Emak ucapkan kepada adik-adikku setiap kali Bapak memotong ayam jago.

Sepeninggal Mbah Kakung, Bapaklah yang selalu memotong ayam jago. Baik itu ayam milik keluargaku, maupun ayam milik keluarga Mbah Biyung. Dan, aku selalu mendapat kepala ayam jago.

"Bapak masih mengantar Pakde. Adik-adikmu di masjid. Rapat. Besok malam mau ada silaturrahmi," Emak berbicara seperti membaca pikiranku. "Besok sungkem sama Mbah Biyung. Sama Pakde dan Paman-Pamanmu. Kemarin mereka menanyakanmu".

Emak masih bicara sampai aku habiskan sebiji mata di kepala ayam jago yang dipotong Bapak. Tentang adik-adikku yang pulang sehari sebelum takbiran. Tentang Bapak. Dan tentang kepala yang selalu ia pisahkan setiap kali bapak memotong ayam jago.

***

momok hiyong

Dari mulutku keluar sabda
Dari tanganku lahir kekuasaan tanpa batas
Di kakiku semua bersimpuh

Tidak ada protes
Tidak pula pembangkangan

Sabdaku adalah perintah
Kuasaku adalah segala
Akulah Momok Hiyong!

tsunami

datang tanpa tanda
menggulung kota
merenggut beribu jiwa

tsunami...!