Monday, September 24, 2007

Telpon

Tak seperti biasanya, suaramu terdengar lirih. Tidak ada sapa yang manja seperti yang biasa kau ucapkan sebelum memulai pembicaraan. "Kamu sakit, Ta?" Aku mencoba menyelidik. Tarikan nafasmu memberiku jawab. "Sudah ke dokter?" Aku mencoba memastikan. "Aku tak berani sendirian. Aku ingin bersamamu."

"Aku gak ke mana-mana, Ta. Aku bersamamu," sekuat tenaga aku berusaha menenangkan. Aku sangat paham. Situasi sulit pasti tengah membelitnya. Ia bukan penakut. Tidak pernah ia meriut seperti ini. Menjadi seperti anak kecil yang tak berani masuk kelas pada hari pertama sekolah.

Dibandingkan dengan diriku, air matanya jauh lebih susah untuk jatuh. Ia cukup tegar saat berhadapan dengan situasi apa pun. Karena itu, mendengarnya terisak, aku benar-benar miris. "Semua akan baik-baik saja," aku terus saja berusaha menenangkan. Tak ada jawaban selain isak yang semakin keras terdengar.

Sungguh, ini kali pertama menghadapi dia dalam situasi seperti ini. Biasanya, jika sedang bersedih cukuplah ia rebahkan kepalanya di dadaku. Tak perlu kata-kata. Karena beberapa saat dia akan kembali tersenyum. Tapi, kali ini jarak dan waktu menjadi garis demarkasi. Mengusap air matanya pun aku tak bisa.

"Ta...," suara di ujung telepon semakin lirih terdengar. "Jika ada waktu untuk pulang, antarkan aku ke dokter." Pasti. Aku pasti akan mengantarnya ke dokter seperti yang aku lakukan ketika dia terkena flu atau radang tenggorokan.

"Kemungkinan aku terkena kanker leher rahim. Tadi aku habis chek up dan dokter Lab curiga..." Panjang lebar ia ceritakan diagnosa dokter atas hasil laboratorium. Dan aku? Aku hanya diam. Aku tak bisa berkata-kata lagi sampai tak kudengar lagi suaranya di telponku.

Jogjakarta, 24 september 2007

Tuesday, September 18, 2007

Maut

"Sak suwene aku nglawak, lagi iki aku nglawak neng nggone wong kesripahan," Marwoto Kawer berujar kepada para takziyah sebelum memulai aksinya di depan jenazah seorang perempuan. Hari itu, pelawak sekaligus pemain kethoprak asli Jogja ini mendapat "job" khusus untuk melawak menghibur perempuan yang baru saja meninggal. Dan, Marwoto tak bisa menolak. Sindhunata ingin agar almarhumah Ibunya tertawa sebelum meninggalkan keluarga, tetangga dan sahabat-sahabatnya ke alam barzah.

Pemimpin tertinggi "Panguntji" ini juga meminta Jemek berpantomim di depan almarhumah. Para pelukis juga dihelat secara khusus untuk merupa kematian Ibundanya tercinta.

Mengapa harus lawak? Mengapa juga harus ada pantomim dan gerak kuas pelukis di atas kanvas kalau toh air mata tetap keluar dari sudut mata Sindhunata? Apakah Marwoto yang sedemkian jago mengocok perut tak bisa lagi melawak? Apakah jemek sudah kehabisan gerak? Apakah pula tangan para pelukis itu sudah lumpuh sehingga goresan kuasnya tak lagi menarik? Bukan itu yang menjadi keinginan Sindhunata.

Kematian Suningsih, ibundanya tercinta tetap menorehkan duka. Tapi, Sindhunata ingin Ibundanya pergi dengan tertawa. Karena menurutnya, "kematian bukanlah akhir segalanya. Tapi, ia adalah awal dari kebahagiaan yang abadi."

Kematian pada akhirnya adalah jalan menuju kehidupan lain. Sekaligus juga ia menjadi jalan untuk menutup kehidupan sebelumnya. Ia berlaku kepada siapa saja yang bernyawa. Lalu mengapa kita harus menjauh dari sesuatu yang pasti terjadi? Akrabilah kematian agar ia menjadi indah.