Monday, February 26, 2007

Serenada

Tolong nyanyikan lagu itu
jika kau tak mampu penuh
cukup reff-nya saja

ya! lagu itu
lagu yang kudengar di bis kota
lagu yang juga tak kuhafal bait-baitnya

tolong nyanyikan lagu itu
agar gelap malam tak menakutinya

sekali lagi tolong
nyanyikan lagu itu
agar panasnya siang tak membuatnya gentar

Gadis Kecil


malam merambat larut dan
aku mengingatmu
gadis kecil yang tergolek
di balik tudung kelambu

secuil senyum di sudut bibir
gadis kecil yang meniti malam
adakah kau melihat rembulan
dari balik kaca jendela?

ah, gadis kecil
tertidur dengan secuil senyum
tudung kelambu menghalangi rinduku


Jogjakarta, 26 Februari 2007

Saturday, February 17, 2007

Lalu Waktu

Pulang ke kotamu
ada setangkup haru dalam rindu
masih seperti dulu
tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
musisi jalanan mulai beraksi...
.......


Aku sengaja memasukkan suara Katon Bagaskara itu ke dalam kotak musik di flashdisc-ku bebrapa hari sebelum aku kembali ke Jogja. Kota yang diamanatkan kantor menjadi wilayah kerjaku.

Jogja, sebenarnya bukan kota yang asing bagiku. Kali pertama mkengemban tugas sebagai Koresponden, di kota inilah aku ditempatkan. kurang lebih satu setengah tahun, kemudian aku dipindah ke Solo. Berjalan dua tahun, kantor kembali menempatkan aku di Jogjakarta.

Seperti penggalan lagu Kla Project tadi, Jogja memang tak banyak berubah. Selain berdirinya Ambarukmo Plaza yang menjadikan Gandhok Kiwo sebagai tumbal. Selebihnya, nyaris tak berubah. Angkringan, pengamen, motor dengan plat nomor dari A sampai Z yang memadati jalan. Oh ya, pengemis di perempatan yang berubah jumlahnya. Mereka semakin banyak.

Sampai di titik ini, Katon Bagaskara tak ada yang salah. Pengamen yang tetap setia menemani para pelancong di lesehan Malioboro, pengendara motor yang tak putus di sepanjang jalan. Tapi, lalu waktu tak berhenti di sini. Di dunia jurnalisme televisi yang aku geluti, semua telah berubah.

Hampir semua stasiun televisi kini punya Koresponden di provinsi dengan lima kabupaten dan kota ini. RCTI, SCTV, INDOSIAR, ANTV, LATIVI, TRANS TV, TV7 yang berganti nama menjadi TRANS7, GLOBAL TV, METRO TV, TPI, sampai TV-TV lokal. Semua membangun kekuatan di sini. Alasannya, pastilah karena Jogjakarta punya potensi berita. Maklum, segala simbol berita ada di kotaraja ini. Ada gunung, laut, perguruan tinggi, keraton, pemerintahan, dan segala pernik yang melingkupinya, termasuk maling dan koruptor.

Bertambahnya jumlah koresponden memang menjadi salah satu penanda perubahan. Karena, pemirsa masing-masing televisi dapat menikmati berita tentang Jogja. Tapi, bukan di titik ini perubahan itu. Dua tahun lalu, saat sebelum aku meninggalkan Jogja dan pergi bertugas ke Solo, hampir semua kawan koresponden berjalan sendiri. memanggul kamera dan menulis naskah sendiri kecuali RCTI yang mempunyai lima stringer. Tapi, 06 Januari 2007 saat aku kembali ke Jogja, semua telah berubah.

RCTI bertambah satu lagi stringer. SCTV yang dulu sering aku harus angkat topi karena daya jelajahnya yang luar biasa kini juga mnegikuti jejak RCTI. Lativi tumbuh dengan dua kontributor. Indosiar punya satu stringer. Metro TV yang paling progresif karena telah menjadi biro lengkap dengan kantor dan SNG.

Stringer tumbuh seperti jamur di musim hujan. Namun, susah sungguh menempatkan mereka di posisi jurnalis. Apa yang mereka lakukan memang seperti yang menjadi tugas-tugas (video) jurnalist. Mengambil gambar, mencari data, dan kadang menulisnya dalam berita. Tapi, Simaklah televisi. Nama mereka tak pernah nongol meski karya mereka terpampang jelas.

Lalu, dan ini sungguh-sungguh terjadi. Seorang stringer yang biasa memasok berita untuk memasok berita untuk sebuah televisi swasta ternama menjual gambarnya ke teve lain yang notabene adalah kompetitor. Ah! Sama sekali tidak masuk di akal!