Thursday, November 30, 2006

Solilokui

Sepertinya tidak ada pekerjaan lain yang paling tunduk selain buruh. kalau masih ada yang tak percaya, pasti ia adalah prajurit ngeyel. Karena, sebesar apa pun gaji yang diperoleh, buruh tetap berada pada posisi yang lemah dan tak menguntungkan.

Jika hal itu salah, mungkin aku adalah perkecualian. Tapi, coba kita tengok ke belakang. Buka kembali file kontrak kerja. Perhatikan dengan seksama. Adakah yang lebih menguntungkan untuk buruh? Boleh saja berkata masih mending ada kontrak kerja. Atau, sah-sah saja berujar, "Ini khan konsekwensi bekerja di perusahaan,".

Jangan khawatir. Takkan ada yang menyalahkan. Tulisan ini hanyalah solilokui. gerundelan.

Ya. Ini hanyalah omongan dalam hati. Karena, dilafalkan dengan fasih pun takkan ada orang yang menghiraukan. Kalau toh ada yang mendengar, pasti akan menyambung dengan kalimat, "Habis mau gimana? Memang aturannya begitu." Lalu, buat apa kita bicara? Bukankah diam lebih menghemat energi kita?

Aturan. Ya, aturan perusahaan memang selalu berlaku demikian. Tak ada celah untuk dibantah. Semua harus tunduk dan patuh. Boleh saja melawan, tapi Surat Peringatan akan segera datang.

jangan bertanya untuk apa aturan itu dibuat. Karena, semua akan menjawab untuk keteraturan. Jangan pernah juga berpikir aturan itu adil, karena untuk teratur pasti harus ada yang dominan. Tak usah ditebak kaerna semua sudah jelas: yang dominan adalah perusahaan dan buruh duduk terpekur di posisi terbawah. Ambillah contoh sederhana: datanglah ke kantor terlambat dan satpam di depan akan mencatat nama Anda sebagai bentuk ketidakpatuhan. Dan, Anda sama sekali tidak bisa memprotesnya.

Lalu, proteslah Anda atas gaji atau uang pindah yang terlambat, maka manajemen akan menjawab, "Wah, maaf. banyak sekail perkerjaan yang harus diselesaikan," Atau, sah juga jika perusahaan menjawab, "Waduh, komputer error!". Huh! Dijamin sekarung kata-kata yang Anda keluarkan tetap tak akan membuat perusahaan bergeming. Demikianlah perusahaan, selalu mendapat permakluman. Dan, buruh? Aha! jangan coba-coba! Kecuali ingin disemprot dengan kata-kata, "Banyak yang ngantri untuk mengganti posisimu!"

Saturday, November 25, 2006

Dia yang Juga Pergi


Kali pertama bertemu di RS TNI AU Solo, kami saling meraba. Menerka, watak dan tabiat masing-masing. Maklum, ke depan, untuk waktu yang tidak ditentukan kami akan menjadi partner kerja. Karena hanya menerka, hasilnya pun tak ada yang istimewa. Lalu waktu pun akhirnya memisahkan kami. Hilang seperti hilangnya berita Jatuhnya Lion Air dari layar kaca.

Kami baru bertemu lagi tiga bulan kemudian. Pertemuan yang biasa. Karena, secara profesional memang demikianlah semestinya.

Bergulirnya waktu membawa kami pada sebuah persahabatan. Bukan lagi teman kerja. Persahabatan yang tidak saja berlaku pada diriku dan dirinya, tapi juga keluarga. Sering, aku habiskan waktu untuk mereguk secangkir kopi di rumahnya. Atau, bermain dengan anak semata wayangnya.

Kedekatan pula yang mambawa kami berbeda dengan kawan-kawan seprofesi yang lain. Menyusuri jalan bersama, berlari bersama. Tak pernah ada konflik. Temperamenku yang sering meledak, selalu tertutupi oleh kesantunannya berkawan. Ah...

Dua tahun berjalan, kami semakin dekat. Apalagi setelah SK dari kantor pusat menempatkan kami di kota Jogjakarta. Tapi, itu hanya sejenak. Kantor mendadak mengubah keputusan yang telah diterbitkan. Dia ditarik ke Jakarta dan aku tetap kembali ke Jogjakarta.

Aku tak tahu apa yang dia rasakan. Yang jelas, aku galau. Aku tidak hanya merasa akan kehilangan seorang teman kerja yang berdedikasi. Yang tetap bisa menjaga idealisme profesi secara santun. Tapi, juga kehilangan kawan yang telah banyak menurunkan tensi temperamenku.

Apakah dia juga galau? Aku tak perlu mencari jawabnya. Yang jelas aku akan selalu merindukan dia di atas deru motor di jalan-jalan yang panas.

Saturday, November 18, 2006

Untuk Kota yang Akan Kutinggalkan

Datang ke Kota Bengawan, aku tak sepenuhnya ikhlas. Ada yang sedikit mengganjal saat kantor dengan segala otoritasnya menurunkan Surat Keputusan: Memindahkan lokasi kerjaku yang semula di Jogja ke Solo. Tapi, seperti Momok Hiyong, kantor tak bisa dilawan. SK harus dilaksanakan. Dan, aku pun angkat koper. Pindah ke kota "Dua Raja".

Sampai di gerbang kota, alam pikir ini masih saja di Jogja. Lambaian tangan kawan, seolah memanggilku pulang. Tapi, kedua kaki terlanjur menginjak bumi. "Ah... Nanti kamu akan terbiasa juga." kata seorang kawan.

Benar juga. Satu dua bulan berjalan, aku mulai merasakan "ghirrah". Apalagi, setelah kawan-kawan lama semasa kuliah dan aktif di jalanan bisa kutemukan. Rutinitas mulai membuatku asyik. Kawan-kawan seprofesi pun cukup membuatku betah untuk nongkrong dan ngopi saat beristirah.

Namun, itu tak berlaku lama. Aku kembali merasa "jumud". Bosan dengan orang-orang selingkungku sendiri. Malah, lebih dari itu, aku mulai membenci orang-orang selingkungku. Kawan-kawan seprofesi, nyaris tak ada lagi yang bisa membuatku menaruh hormat. Apalagi, kepada kawan yang lebih senang menikmati hasil kerja orang lain dan mengeksploitasinya. Fyuhh!!!

Aku teringat Jogjakarta. Kota yang membuat adrenalinku terkuras habis. Kota di mana tidak ada kata ampun untuk siapa pun yang terjun ke dunia jurnalisme. Kota yang pernah membuatku memilih untuk terjatuh dan mati di jalan daripada tidak bisa mendapatkan gambar pesawat latih TNI AU yang jatuh di Prambanan.

Pada titik ini, nyaris tak ada yang bisa aku lakukan. Kebanggaan karena banyak kawan yang menggunakan tripod karena ajakanku seperti hilang. Padahal, tripod dulu hanya aku jadikan alat pemantik agar kawan-kawan tak sekedar memaknai profesinya sebagaimana buruh lain. Ada tugas "suci" yang sampai sekarang masih aku yakini, setidaknya mencerdaskan publik, ya memberikan informasi yang benar kepada khalayak. Bukan sebaliknya. Me-reka peristiwa dan menjadikan kebutuhan masyarakat akan informasi sebagai ladang empuk untuk dieksploitasi.

Tapi, apa lacur. Semua yang berjalan tak seluruhnya seperti yang diimpikan. Hanya saja, kegamangan ini tidak cukup terobati. Apalagi, jika melihat kawan-kawan yang mendadak menjadi "jurnalis" dan menganggap enteng profesinya. Lebih sakit lagi, melihat kawan yang menangguk untung dari kawan lain yang tidak tahu makna sejati profesinya.

Beruntung, genap dua tahun, kantor berniat mengembalikanku ke habitat lama. Kota Jogjakarta. Kota, di mana aku belajar jurnalisme televisi dengan segala pernak-perniknya. Dan, berarti pula aku akna meninggalkan kota ini. Kota yang banyak dihuni para jurnalis televisi yang sakit.

Tuesday, November 14, 2006

16.25

Lalu waktu benar-benar menjadi giliranku
Saat seorang perawat menyebut nama itu
Senang dan haru bergumul menjadi satu
Tak tahu apa, tak mengerti kenapa

Adzan aku kumandangkan
Iqomat aku suarakan
hanya itu yang bisa aku lakukan

Emak tak beranjak
Ibu hanya termangu

kau telah lahir, Nak...