Sunday, January 20, 2008

Cak Mul

"Monggo..." Suaranya ramah menyambut kedatangan kami. "Nuwun sewu. Nggih ngaten meniko panggenan kulo," seolah membaca pikiran Emak, Cak Mul menjelaskan rumahnya. Rumah yang kecil. Teramat kecil bagi empat orang yang tinggal di dalamnya.

Jangan tanya di mana ruang tamu dan di sebelah mana dapurnya. Karena, begitu masuk dan duduk, Anda akan dapat melihat istri Cak Mul memasak. Jangan pula tanya sofa atau perabot rumah tangga lainnya. Satu-satunya perabot adalah lemari kayu usang tempat menyimpan teve 14 inchi dan bakul nasi. "Monggo lenggah, Bu..." Cak Mul mempersilakan Emak untuk Duduk.

Memandang sekeliling Emak menyandarkan tubuhnya di dekat pintu. Belum ada kata yang terucap dari bibirnya. Matanya yang coklat menyapu seluruh dinding triplek. Sebuah topi menghentikan pengamatannya.

"Kamu sering ke sini, Mas?" pelan, Emak bertanya. Aku hanya mengangguk. Membiarkan pikirannya mengembara. Mengkonstruksi setiap kata tentang Cak Mul. Lelaki paruh baya yang aku kenal sejak 10 tahun lalu. Aku biarkan Emak menatap kasur kusam yang bersandar pada dinding. Aku biarkan dia menyelami setiap sudut rumah dari orang yang sering aku ceritakan karena jasanya semasa kuliah.

Cak Mul. Hanya itulah nama yang aku kenal sejak 10 tahun lalu. Aku tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu nama lengkapnya. Juga nama istrinya yang aku panggil Mak. Yang aku hafal hanyalah nama kedua anaknya. Tabah Muhardhika dan Wedha Kumala. Nama yang menurut Cak Mul diambil dari pekerjaannya sebagai penjual "wedhangan malam" nama keren dari penjual "sego kucing".

Wedha kini duduk di bangku kelas dua STM. Kebangkrutan Cak Mul sebagai penjual "sego kucing" nyaris membuat Wedha tak bersekolah. Kampus Mesen yang berubah fungsi dari sekretariat UKM menjadi kampus D-3 Ekonomi rupanya berdampak signifikan bagi Cak Mul. Tidak ada anak nongkrong. Kuliah selesai jam tiga sore tepat dengan waktu Cak Mul bersiap membuka gerobaknya. Beberapa kali Cak Mul berganti usaha untuk menghadapi pasar yang berbeda. Namun, sampai modal habis pelanggan tidak ada. Cak Mul bangkrut.

"Dahar rumiyin, Bu..." Emak ragu untuk menjawab. Aku berhenti mengingat masa lalu. Segera aku mengambil nasi dan sayur gori. Aku memang sudah terbiasa di rumah ini. Dahulu, hampir setiap Sabtu dan Minggu pasti ke rumah ini. Dan, di dekat pintu tempat Emak duduk itulah favoritku. Aku bisa memandang siapa pun yang berjalan. Melihat anak kecil yang berlari. Juga melihat anjing hitam yang tidur bermalas-malasan. Di dekat pintu di samping lemari kayu ini pula aku sering menghabiskan waktu dengan buku. Dan, di kemudian hari aku baru mengetahui jika rumah inilah buku yang sebenarnya.

Cak Mul adalah buku pelajaran tentang seorang bapak yang tak pernah putus asa dan percaya akan pentingnya menyekolahkan anak. Dengan segala keterbatasannya akan teori, Cak Mul bagiku adalah aktor tulus yang menerima keberagaman. Forum komunikasi antar umat beragaman boleh-boleh saja getol mengampanyekan toleransi. Tapi, di rumahnya yang berdinding triplek, Cak Mul telah melaksanakannya. Tabah--anak pertamanya adalah penganut nasrani. Dan, Wedha anak keduanya seorang muslim.

Istri Cak Mul adalah buku besar dengan beberapa bab di dalamnya. Bab Pertama dan paling penting adalah tentang bagaimana menjadi ibu dan istri yang baik. Sedang Tabah dan Wedha adalah buku anak-anak yang riang dan bebas kelas. Dan rumah berdinding triplek ini juga buku yang sempurna. Yang tak perlu ayat-ayat suci dan perabot tolak bala tapi mampu membentengi penghuninya dari segala pengaruh buruk.

Samping kanan rumahnya tinggal seorang pengedar narkoba. Di samping kirinya seorang penadah barang-barang copetan. Letaknya yang di pojok seringkali dijadikan tempat menyelinap pengamen yang dikejar-kejar aparat. gang sempit di depan rumahnya adalah jalur bebas hambatan minuman keras. Segala yang melawan hukum dan menentang agama bersinggungan di kampung ini. Dan, Cak Mul hanya menyekatnya dengan triplek.

Namun, persinggungan tak berlaku untuk satu hal: Pendidikan. Tembok tinggi di belakang rumah Cak Mul tak mampu dilompati. Bukan saja oleh anak-anaknya. Tapi, hampir semua anak di kampung Purwopuran. Tembok tinggi bukan saja menjadi pemisah antara rumah dan kampus UNS Mesen, tapi pembatas siapa yang berhak kuliah dan putus sekolah.

"Matur nuwun..." Emak beranjak meminta diri. Dengan malas aku menyalami Cak Mul yang selalu tersenyum. Aku masih ingin di sini. Duduk di dekat pintu di samping lemari kayu seperti sepuluh tahun lalu.

Jogjakarta, 21 Januri 2008