Sunday, December 03, 2006

Tripod



Aku membeli benda berkaki tiga ini pada bulan Juni 2006. Hanya beberapa hari setelah gempa bumi meluluhlantakkan Bantul dan sebagian Jogjakarta. Tidak begitu mahal, hanya Rp 450.000. Tapi, aku cukup senang bis membeli benda ini. Selain duit dari kantongku sendiri, aku yakin benad ini sangat membantu pekerjaanku sebagai jurnalis di sebuah tv swasta.

Benda ini sebenarnya bukan barang baru bagiku. Aku mengenalnya sejak tiga tahun lalu. Namun, itu bukan milikku. Kantor memebriku inventaris tripod merek Vinten sebagai pelengkap kamera Panasonic AGDV-15, tapi, sudah ditarik kembali oleh kantor pada akhir 2005.

Sayang benda yang aku beli di toko elektronik Atakrib ini tak mau menemaniku lama. Hanya lima bulan. Satu Desember lalu, saat meliput aksi peringatan Hari Aids sedunia, mendadak rusak. Sama sekali tak bisa digunakan. Sediih...

Mengadu ke kantor? Ah, tripod itu aku beli sendiri. Dengan uangku sendiri. Mustahil rasanya kantor akan mau mengganti. Dan, sejatinya, aku sama sekali tak berniat meminta ke kantor, karena beratus kali aku meminta, jawab yang keluar pun sma: DIUSAHAKAN!

Kesedihanku sebenarnya lebih kepada kesulitanku untuk membuat gambar sedemikian steady. Artinya lagi, aku tak bisa memuaskan permirsa dengan karya-karya jurnalistikku. Kepuasan pemirsa? Ah! binatang macam apalagi? Barangkali memang hanya keinginanku yang yang terlalu naif. Tapi, sungguh ini adalah keinginanku yang tulus sebagai jurnalis.

Gaji? aku tak berharap banyak. Karena, setiap kali tanggal yang diharapkan itu datang, pastilah langsung habis untuk bayar telpon, listrik, angsuran motor dan kebutuhan lainnya. Lalu apalagi yang bisa aku lakukan dengan eksistensiku sebagai manusia? Karya. Ya, hanya itulah satu-satunya yang bisa aku lakukan.

Sayang, selingkungku, kawan-kawan seprofesiku mulai kehilangan ruh itu. Jurnalis meski di republik ini nyaris tak ada beda dengan buruh lain, tapi bagaimanapun dia punya tangung jawab yang tidak dimiliki para buruh lainnya. Sebutan anama pada akhir berita jelas menjadi beban betapa karya kita bukan saja tanggung jawab perusahaan media. Tapi, juga jurnalis yang mengkonstruksi peristiwa di lapangan.

Apa hubungannya dengan tripod? Jelas berkorelasi positif. Karena jurnalis juga manusia, maka dia punya nafas yang setiap hembusannya emnggerakkan anggota tubuh. Termasuk tangan yang selalu digunakan untuk memegang kamera. Siapa yang bisa menjamin tangan tak bergoyang saat nafas berhembus dan peristiwa berjalan? Nah, di sinilah si Kaki tiga berperan. Efek yang diharapkan, pemirsa akan melihat gambar yang tenang, anteng. Dan, inilah yang paling mungkin aku lakukan sebagai tanggung jawab sosialku kepada pemirsa. Selain, tentu saja bagaiamanan aku terus berusaha belajar memberikan informasi yang mencerdaskan melalui berita-berita.