Wednesday, November 21, 2007

Wajah di Balik Bantal

Segera saja kurengkuh bantal itu untuk menutupi wajahku. Aku tak mau ia melihatnya. Melihat wajahku yang memerah. "Kenalkan..." Aku tak mau mendengarnya. Suara lembut itu justru membuat tanganku bergerak cepat. Menarik bantal dan menutupkannya ke wajah hingga telingaku.

Sungguh aku harus berterima kasih kepada sepotong bantal di sofa ini. Juga kepada tanganku yang bergerak cepat seolah memahami perasaanku. Ah! Kenapa juga dengan perasaanku?

Aku masih tak bergerak. Di ujung sofa di sudut ruang tamu. Aku benar-benar seperti pesakitan. Oh... Sungguh aku ingin melihatnya. Memandang wajah yang mengalunkan suara merdu. Namun, keberanian yang selalu aku agungkan mendadak hilang. Tubuh besarku meriut seperti tikus masuk got.

Perlahan, dengan sisa keberanian aku turunkan bantal. "Oh Tuhan... dia belum pergi," dalam hatiku mengalun kata syukur. Tapi, keberanianku belum kembali. Sepotong bantal kembali menjadi perlindungan. "Tuhan...tolong aku. Tuntunlah bibirku berucap yang terindah untuk menjawab pertanyaannya".

Sepuluh detik berlalu. Keberanianku belum kembali. Semenit berlalu, keberanianku belum juga pulang kandang.

"Mas, aku pulang dulu ya..." Suara merdu itu berpamitan. "Tidak!" seru hatiku. Namun, suara hatiku rupanya tak didengar. Gadis bersuara merdu itu pergi. Meninggalkan aku sendiri dengan sepotong bantal di ujung sofa di sudut ruang tamu.

Seminggu berlalu, aku terus berusaha mengumpulkan keberanian. Namun, tak cukup. Sebulan aku berusaha menyusun kata-kata tapi sia-sia. "Mas.." Oh Tuhan... suara merdu itu. Suara yang meruntuhkan seluruh keberanianku.

Bantal. Di mana bantal itu? Aku ingin sekali menutup wajahku. Aku ingin sekali menutupi ketakutanku. "Suka film ya Mas.." aku tergagap. Spontan bibirku berucap "Ya". Dan, tak ada lagi perbincangan. Waktu seperti terhenti sampai tangan kami saling melambai tanda perpisahan. Malam benar-benar menjadi jahanam.

***

Aku tidak tahu lagi bagaimana mulanya. Mendadak kami sudah satu meja dan menikmati makan siang. Tak banyak kata terucap. Kami hanya saling memuji menu yang kami pesan. Namun dari sinilah semuanya berawal. Kami saring bertemu dan melewatkan waktu bersama hingga akhirnya kami menetapkan tanggal 10 Juli sebagai hari baik bagi kami untuk mengikat diri.

Jogjakarta, 22 November 2007